Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PMII


Sepintas Sejarah Lahir PMII

Dokumen Sejarah menjadi sangat penting untuk ditinjau ulang sebagai referensi atau cerminan masa kini dan menempuh masa depan, demikian halnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai organisasi kemahasiswaan yang gerak perjuangannya adalah membela kaum mustadh’afin serta membangun kebangsaan yang lebih maju dari berbagai aspek sesuai dengan yang telah dicita-citakan.
Latar belakang berdirinya PMII terkait dengan kondisi politik pada PEMILU 1955, berada di antara kekuatan politik yang ada, yaitu MASYUMI, PNI, PKI dan NU. Partai MASYUMI yang diharapkan mampu untuk menggalang berbagai kekuatan umat Islam pada saat itu ternyata gagal. Serta adanya indikasi keterlibatan MASYUMI dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Semesta (PERMESTA) yang menimbulkan konflik antara Soekarno dengan MASYUMI (1958). Hal inilah yang kemudian membuat kalangan mahasiswa NU gusar dan tidak enjoy beraktivitas di HMI (yang saat itu lebih dekat dengan MASYUMI), sehingga mahasiswa NU terinspirasi untuk mempunyai wadah tersendiri “di bawah naungan NU”, dan di samping organisasi kemahasiswaan yang lain seperti HMI (dengan MASYUMI), SEMMI (dengan PSII), IMM (dengan Muhammadiyah), GMNI (dengan PNI) dan KMI (dengan PERTI), CGMI (dengan PKI).

Proses kelahiran PMII terkait dengan perjalanan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), yang lahir pada 24 Februari 1954, dan bertujuan untuk mewadahi dan mendidik kader-kader NU demi meneruskan perjuangan NU. Namun dengan pertimbangan aspek psikologis dan intelektualitas, para mahasiswa NU menginginkan sebuah wadah tersendiri. Sehingga berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdhatul Ulama (IMANU) pada Desember 1955 di Jakarta, yang diprakarsai oleh beberapa Pimpinan Pusat IPNU, diantaranya Tolchah Mansyur, Ismail Makky dll.
Namun akhirnya IMANU tidak berumur panjang, karena PBNU tidak mengakui keberadaanya. Hal itu cukup beralasan mengingat pada saat itu baru saja dibentuk IPNU pada tanggal 24 Februari 1954, “apa jadinya kalau bayi yang baru lahir belum mampu merangkak dengan baik sudah menyusul bayi baru yang minta diurus dan dirawat dengan baik lagi.”.
Dibubarkannya IMANU tidak membuat semangat mahasiswa NU menjadi luntur, akan tetapi semakin mengobarkan semangat untuk memperjuangkan kembali pendirian organisasi, sehingga pada Kongres IPNU ke-3 di Cirebon, 27-31 Desember 1958, diambillah langkah kompromi oleh PBNU dengan mendirikan Departemen Perguruan Tinggi IPNU untuk menampung aspirasi mahasiswa NU. Namun setelah disadari bahwa departemen tersebut tidak lagi efektif, serta tidak cukup kuat menampung aspirasi mahasiswa NU (sepak terjang kebijakan masih harus terikat dengan struktural PP IPNU), akhirnya pada Konferensi Besar IPNU di Kaliurang, 14-16 Maret 1960, disepakati berdirinya organisasi tersendiri bagi mahasiswa NU dan terpisah secara struktural dengan IPNU. Dalam Konferensi Besar tersebut ditetapkanlah 13 orang panitia sponsor untuk mengadakan musyawarah diantaranya adalah:
1. A. Cholid Mawardi (Jakarta).
2. M. Said Budairi (Jakarta).
3. M. Subich Ubaid (Jakarta).
4. M. Makmun Sjukri, BA (Bandung).
5. Hilman (Bandung).
6. H. Ismail Makky (Yogyakarta).
7. Munsif Nachrowi (Yogyakarta).
8. Nurul Huda Suaidi, BA (Surakarta).
9. Laili Mansur (Surakarta).
10. Abdul Wahab Djaelani (Semarang).
11. Hizbullah Huda (Surabaya).
12. M. Cholid Marbuko (Malang).
13. Ahmad Husein (Makassar).
Lalu berkumpulah tokoh-tokoh mahasiswa yang tergabung dalam organisasi IPNU tersebut untuk membahas tentang nama organisasi yang akan dibentuk.
Sebelum musyawarah berlangsung, beberapa orang dari panitia tersebut meminta restu kepada Dr. KH. Idham Cholid, Ketua Umum PBNU, untuk mencari pegangan pokok dalam pelaksanaan Musyawarah, mereka adalah Hizbullah Huda, M. Said Budairi dan Makmun Sjukri. Dan akhirnya mereka mendapatkan lampu hijau, beberapa petunjuk, sekaligus harapan agar menjadi kader partai NU yang cakap dan berprinsip ilmu untuk diamalkan serta berkualitas takwa yang tinggi kepada Allah SWT.
Akhirnya, pada tanggal 14-16 April 1960 dilaksanakan Musyawarah Nasional Mahasiswa NU bertempat di Taman Pendidikan Puteri Khadijah Surabaya dengan dihadiri mahasiswa NU dari berbagai penjuru kota di Indonesia, dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat itu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Delegasi Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Delegasi Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII.
Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan Kongres. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari “P” apakah Perhimpunan atau Persatuan. Akhirnya disepakati huruf “P” merupakan singkatan dari Pergerakan, sehingga PMII adalah “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PMII, serta memilih dan menetapkan Kepengurusan. Terpilih Sahabat Mahbub Djunaidi sebagai Ketua Umum, M. Chalid Mawardi sebagai Ketua I, dan M. Said Budairy sebagai Sekretaris Umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII.
Deklarasi
Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf “P” merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.
Makna Filosofis
Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.
Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.
“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).
Makna “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa serta UUD 1945. Dan mempunyai komitmen kebangsaan sesuai dengan asas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Independensi PMII Sebuah Pilihan
Seiring dengan perjalanan waktu, perubahan dalam kehidupan tidak dapat terelakkan. Setelah keluarnya SUPERSEMAR 1966, kegiatan demonstrasi massa menurun, hingga akhirnya dilarang sama sekali. Mahasiswa diperintahkan untuk back to campus. Kondisi yang demikian menggeser posisi strategis KAMI menjadi termarjinalkan, sehingga diusahakan untuk mengadakan beberapa rapat mulai 1967 di Ciawi, disusul 11-13 Februari 1969 dengan membahas National Union of Student. Namun usaha-usaha yang dilakukan menemui jalan buntu, hingga akhirnya KAMI bubar dan beberapa anggotanya kembali pada organisasi yang semula.
PMII tetap melakukan gerakan-gerakan moral terhadap kasus dan penyelewengan yang dilakukan oleh penguasa. Sejak Orde Baru berdiri, kemenangan berada di tangan Partai Golkar dengan dukungan dari ABRI. Perubahan konstalasi politik pun terjadi perlahan dan pasti. Partai-partai politik Islam termasuk NU dimarjinalkan dan dimandulkan. Dan disisi lain kondisi intern NU dilanda konflik internal.
Harus diakui bahwa sejarah paling besar dalam PMII adalah ketika dipergunakannya independensi dalam Deklarasi Murnajati, 14 Juli 1972. Dalam MUBES III tersebut, dilakukan rekonstruksi perjalanan PMII selama 12 tahun. Analisa untung-rugi ketika PMII tetap bergabung (dependen) pada induknya (NU). Namun sejauh itu pertimbangan yang ada tidak jauh dari proses pendewasan. PMII sebagai organisasi kepemudaan ingin lebih eksis di mata bangsanya. Hal ini terlihat jelas dari tiga butir pertimbangan yang melatarbelakangi Independensi PMII tersebut.
• Butir pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan, mutlak memerlukan insan Indonesia yang berbudi luhur, takwa kepada Allah, berilmu dan bertanggungjawab, serta cakap dalam mengamalkan ilmu pengetahuanya.
• Butir Kedua, PMII sebagai organisasi pemuda Indonesia, sadar akan peranananya untuk ikut bertanggungjawab bagi keberhasilan bangsa untuk dinikmati seluruh rakyat.
• Butir Ketiga, bahwa PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai dengan idealisme Tawang Mangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, sikap keterbukaan dan pembinaan rasa tanggungjawab.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, PMII menyatakan diri sebagai organisasi independen, tidak terikat baik sikap maupun tindakan dengan siapapun, dan hanya komitmen dengan perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional, yang berlandaskan Pancasila.
Deklarasi Murnajati tersebut kemudian ditegaskan kembali dalam Kongres V PMII di Ciloto, 28 Desember 1973. Dalam bentuk Manifesto Independensi PMII yang terdiri dari tujuh butir, salah satu butirnya berbunyi: “…bahwa pengembangan sikap kreatif, keterbukaan dan pembinaan rasa tanggungjawab sebagai dinamika gerakan dilakukan dengan bermodal dan bersifat kemahasiswaan serta didorong oleh moralitas untuk memperjuangkan pergerakan dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila.”.
Sampai di sini, belum dijumpai adanya motif lain dari independensi itu, kecuali proses pendewasaan. Hal ini didukung oleh manifesto butir terakhir, yang menyatakan bahwa “dengan independensi PMII tersedia adanya kemungkinan-kemungkinan alternatif yang lebih lengkap lagi bagi cita-cita perjuangan organisasi yang berdasarkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jamaah.”.
Kondisi sosio-akademis, PMII dengan independensinya lebih membuktikan keberadaan dan keabsahannya sebagai organisasi mahasiswa, kelompok intelektual muda yang sarat dengan idealisme, bebas membela dan berbuat untuk dan atas nama kebenaran dan keadilan. Dan bersikap bahwa dunia akademis harus bebas dan mandiri tidak berpihak pada kelompok tertentu. Sedangkan Cholid Mawardi dalam menyikapi independensi ini penuh dengan penentangan, karena ia khawatir PMII tidak lagi memperjuangkan apa yang menjadi tujuan partai NU.
Meskipun independensi ini diliputi dengan pro-kontra yang semakin tajam. Akan tetapi PMII justru memilih independensi sebagai pilihan hidup dan mengukuhkan Deklarasi Murnajati dalam Kongres Ciloto, Medan tahun 1973 yang tertuang dalam Manifesto Independensi PMII. Maka sejak 28 Desember 1973 secara resmi PMII independen dan memulai babak baru dengan semangat baru menuju masa depan yang lebih cerah. Ini berarti PMII mulai terpisah secara strukutural dari NU, tetapi tetap merasa terikat secara kultur dengan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai strategi pergerakan.
PMII secara resmi bergabung dengan Kelompok Cipayung (22 Januari 1972) satu tahun setelah Kongres Ciloto, yaitu pada Oktober1974, di bawah kepemimpinan Ketua Umum Drs. HM. Abduh Padare. Dan bergabung secara riil pada Januari 1976 dan dipercaya untuk menyelenggarakan pertemuan ketiga.
Bergabungnya PMII dalam Kelompok Cipayung merupakan perwujudan arah gerak PMII dalam lingkup kemahasiswaan, kebangsaan, dan keislaman. Kerjasama dengan berbagai pihak akan terus dilakukan sejauh masih dalam bingkai visi dan misinya. Terbukti sebelum bergabung dengan kelompok ini PMII juga terlibat aktif dalam proses menentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Setelah PMII independen, selain melakukan aktifitas strategis dalam konstalasi nasional, PMII juga melakukan pola pengkaderan secara sistematis yang mengacu pada terbentuknya pemimpin yang berorientasi kerakyatan, kemahasiswaan dan pembangunan bangsa.

1 komentar untuk "PMII"

  1. Siapa yang mengetahui kebenaran sejarah kecuali pelaku sejarahnya sendiri.
    Terimakasih atas komentarnya saudara Imam Alfi. Mohon maaf jika saya juga menilai bahwa bahasa komentar Anda juga terkesan sangat subjektif. Semoga suatu saat diberi kesempatan untuk berdiskusi kembali. Salam silaturahim dari Anak Jambi. :)

    BalasHapus