Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Asa Petani Kala Mentari Kembali Menghampiri

Seorang Petani sedang memanen garam di Janeponto, Sabtu (12/8/2017/) / Akar-akar


















Mereka adalah orang-orang yang sangat menghargai tetesan demi tetesan air laut. Berbeda dengan desa-desa pada umumnya yang mengeluh akan ketersediaan sumber kehidupan saat kemarau, warga di Pesisir Pantai Janeponto ini justru menjadikan kemarau sebagi musim pembawa berkah.

Terik matahari serta kencangnya angin di pesisir Janeponto semakin mendorong semangat warga untuk kembali berjemur. Mengenakan topi, berpakaian seadanya bahkan tanpa mengenakan alas kaki, mereka seolah bercengkerama akrab dengan air laut setiap harinya.

Kabupaten Janeponto memang dikenal sebagai salah satu kabupaten penghasil garam terbesar di Indonesia. Salah satu sentra produksi garam ini ada di Kecamatan Bangkala, Kabupaten Janeponto, Sulawesi Selatan. Hidup bekerjasama, saling membantu, kompak, dan kreatif telah menjadi karakter petani garam di kawasan ini.

Proses pembuatan garam di Kecamatan Bangkala masih sangat sederhana. Petani hanya mengandalkan panas matahari untuk mengkristalkan air laut. Maka jangan heran dengan penampakan petakan demi petakan di bibir laut ketika melewati desa-desa di Kecamatan Bangkala ini.

Proses Kristalisasi garam, Janeponto, Sabtu (12/8/2017)/ Akar-akar
Ridwan, salah satu petani garam menjelaskan, petakan-petakan tanah yang digunakan untuk menampung air laut tersebut terdiri dari tiga level yakni level 1, level 2, dan level 3. Adapun petak level 1 digunakan untuk proses pengendapan, petak level 2 untuk proses pemanasan, dan petak level 3 untuk proses kristalisasi.

 "Setelah agak mengendap, dibuka jalan menuju petak pemanasan. Ini diharapkan air laut lebih mengental, baru setelah itu dibuka menuju tahap kristalisasi," ujarnya.

Konon setiap level memiliki ketinggian yang berbeda dengan level 1 yang tertinggi kemudian didesain semakin rendah hingga level ke tiga. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam mengalirkan air laut pada setiap tahapannya.

"Kedalaman petakannya juga semakin rendah. Petakan pertama lebih dalam, kemudian petakan tahap ke 2 lebih rendah, sampai tahap ke tiga paling hanya untuk menampung air laut kurang lebih sekitar 1 centimeter," terangnya.

Petakan tambak garam di Janeponto, Sabtu (12/8/2017). Pengaliran air laut menuju tambak menggunakan kincir angin tradisional/ Akar-akar

Petani garam memang memilih bertani langsung di bibir laut. Hal ini tentu untuk mempermudah proses pengambilan air laut yang kemudian dialirkan ke petakan tambak garam. Proses pengaliran ini pun sangat sederhana dan tak perlu menggunakan alat berteknologi tinggi. Petani hanya mengandalkan kincir angin untuk memompa air laut mengalir ke setiap tambak garam.

"Airnya langsung diambil dari laut di sebelah ini (tambak). Ada saluran pipa ke laut untuk mengalirkan air laut ke tambak. Pakai kincir. Tidak perlu bahan bakar, karena di sini kan anginnya sangat kencang," ujarnya

Bagi Ridwan, saat air laut telah mengkristal adalah proses tersulit dalam pembuatan garam tradisional ini. Kejelian dan kehati-hatian petani dalam memanen sangat mempengaruhi kualitas garam yang dihasilkan. Menurutnya tidak semua petani bisa melakukan tahapan ini dengan baik.

"Lebih enak panennya saat air garam belum mengering semuanya. Lebih enak mengambilnya. Karena kalau sudah kering semua garamnya jadi keras, tanah-tanahnya biasanya juga ikut nempel," ujarnya.

Garam eceran yang dijual petani di bibir jalan, Janeponto, Sabtu (12/8/2017)/ akar-akar.

Proses pembuatan garam tidak membutuhkan waktu lama. Rata-rata garam bisa dipanen dalam tiga hari tergantung kondisi cuaca. Inilah mengapa saat musim hujan tiba adalah menjadi masa sulit bagi warga desa setempat.

"Sebenarnya kalau hujan bisa kita tutup pakai terpal supaya airnya tidak bercampur dengan air hujan. Tapi prosesnya jadi agak lama dan tidak banyak hasilnya. Beda kalau lagi panas," ujarnya.

Ridwan hanyalah satu contoh dari puluhan petani garam lain di kawasan ini. Tak semua warga memiliki tambak dengan jumlah yang besar. Sebagian di antaranya juga ada yang bekerja dengan pemilik tambak lain dengan sistem bagi hasil.

Para petani menjual hasil panen garam kepada pengepul dengan harga rata-rata Rp60 ribu per karung. Namun sebagian di antara mereka juga ada yang menjual sebagian hasil panennya secara ecer dengan harga Rp3 ribu per kilogram. Tak membutuhkan lapak khusus untuk berjualan. Pedagang garam ecer ini menjajakkan hampir di sepanjang jalan kawasan pertanian garam.





*Tulisan ini telah terbit di Majalah Swadesa Tahun 2017.

Posting Komentar untuk "Asa Petani Kala Mentari Kembali Menghampiri "