Cita-Cita Gue Berevolusi, Cita-Cita Loe?
Ilustrasi/NET |
Percaya nggak,
kalau cita-cita ternyata mengalami fase evolusi juga. Setelah gue pikir-pikir
dan gue inget-inget, bahkan gue pun mengalami langsung evolusi jenis ini.
Buktinya nih simak cerita gue.
Kampung halaman gue tuh ndeso banget. Kecil, terkucil dan sangat terisolir banget dari
perkembangan teknologi dan peradaban. Meski
pada akhirnya gue sadar,bahwa masih ada banyak desa-desa di sana yang
jauh lebih terisolir dibandingkan desa gue.
Dulu gue sama sekali nggak
pernah bermimpi tinggi. Impian tertinggi gue ketika kecil berubah-ubah sesuai trend di desa gue kala itu. Gue inget
banget, dulu waktu gue masih SD, setiap sore harus ikut sekolah khusus agama
yang biasa disebut sekolah madrasah sama
masyarakat di kampung gue.
Zaman gue kecil dulu, madrasah ini dilaksanakan di masjid
sekitar 1 Kilometer dari tempat gue tinggal. Yang mendirikan dan secara
sukarela mengajarkan kami berbagai ilmu agama (Islam) ini adalah mereka-mereka
alumni pondok pesantren. Zaman gue kecil dulu, emang banyak banget yang
mengirimkan anak-anaknya ke pondok pesantren di pulau Jawa untuk memperkenalkan
dan memperdalam ilmu agama di sana.
Dan suatu ketika, salah satu guru nanyain ke gue dan
beberapa siswa madrasah lainnya. Pertanyaannya sederhana, “Kalau udah gede ntar,
cita-cita kamu mau jadi apa?”. Cita-cita gue paling berani kala itu. Gue
bilang, gue mau jadi perawat. Dan ketika gue ditanya kenapa mau jadi perawat,
jawab gue simpel, gue pengen jadi kayak tante gue. Kebetulan tante gue Bidan.
Dan karena itu dia dipuji-puji banget. Gue pengen banget keliatan keren kayak
dia.
Ya.. zaman gue kecil, profesi bidan tuh hebat banget bro. udah biaya sekolahnya mahal, juga
masih sangat langka yang punya profesi itu. Hingga gue SMP, cita-cita gue pun
berubah. Gue bertekad setekad-tekadnya buat jadi guru Matematika. Loe tau
kenapa, alasannya dahsyat. Gue bertekad buat jadi penerus bokap gue. Jreng
jrenggggg….. Bokap gue honorer guru matematika SMP waktu itu.
Lama-lama.. ketika gue Aliah, gue mulai bête kalau ditanya cita-cita. Gue bingung
mau jadi apa. Mau jadi perawat, bidan, atau profesi kesehatan lain, kayaknya
bukan gue banget. Dan impian buat jadi penerus bokap pun perlahan mulai
memudar. Kebimbangan semakin merajalela ketika gue menginjak kelas tiga. Gue
bingung mau kuliah apa. Hingga pada akhirnya…
Keluarga besar gue mendorong dan nyaris maksa gue buat
daftar di perguruan tinggi dengan konsentrasi kebidanan. Gue ogah. Ogah
seogah-ogahnya. Gue ngga mau ntar anak orang lahir ngga normal Cuma gara-gara
gue yang nolongin. Gue ngerasa gue ngga bisa banget di kesehatan. Hingga
akhirnya bokap gue sadar biayanya mahal binggot
dan ikut-ikutan ngga ngedukung gue buat ambil tuh kebidanan.
Kemudian pada akhirnya lagi, bokap gue secara otoriter
memutuskan bahwa gue harus ambil kuliah di Perguruan Tinggi Islam Negeri di
Kota Jambi. Ini Kota terdekat dari desa gue. Alasannya sama kayak sebelumnya
waktu gue dipaksa ikut tes di salah satu madrasah aliah di Kota Jambi hingga
akhirnya gue menyelesaikan sekolah menengah atas gue di sana.
Katanya, anak zaman sekarang kayak gue nih, pengetahuan
dan penerapan agamanya minim banget. Katanya sih biar gue tau agama. Yah.. gue
fahami, maklumi dan menyadari kaan hal itu. Agama gue emang minim banget bahkan
ampe sekarang.
Gue bilang oke waktu itu. Berbeda sama temen-temen gue
lain yang daftar sana sini buat ikutan tes kuliah. Gue cukup daftar dan tes di
satu tempat. Perguruan tinggi islam seperti yang bokap gue bilang, IAIN Sultan
Thaha Syaifuddin Jambi. Gue serasa pede banget
waktu itu dan ternyata gue lulus tes. Hore.
Ada beberapa jurusan yang gue pilih sebelum tes. Gue
masih inget, yang gue ambil waktu itu pendidikan matematika, Ilmu Jurnalistik,
Ekonomi Islam dan Bahasa Sastra Inggris. Alhamdulillah
pun gue lulus di jurusan Ilmu Jurnalistik. Alasan gue pilih tuh jurusan,
karena menurut gue, jadi wartawan itu butuh banget adrenalin dan ketangkasan
tinggi. Dan gue penasaran banget sama profesi ini. Kira-kira, gimana rasanya ya
jadi wartawan????
Bokap dan keluarga besar gue melarang keras waktu itu.
Tapi ngga sekeras batu sih. Masih keras kemauan gue. Berkali-kali bokap gue
nyuruh gue pindah jurusan. Gitu juga dengan keluarga gue, tante, om, hingga ke
kakek nenek gue. Mereka kayak murka banget sama jurusan yang gue ambil.
Kesimpulannya, mereka ngga doyan banget gue jadi wartawan. Mereka pengennya gue
jadi guru aja. Tapi gue kekeuh, gue
ogah pindah jurusan. Ogah seogah-ogahnya.
Kadang-kadang gue mikir, gue jadi anak ngga tau diuntung
banget ya. Seenaknya buat enggak
ngedengerin kata keluarga buat pindah jurusan dan menjauhi profesi impian
terbaru gue ini, “Jurnalis”. Hingga ketakutan keluarga gue berujung menjadi
kenyataan. Gue berhasil menjadi jurnalis beneran ketika gue masih menginjak
bangku semester 7 kuliah gue. Gue resmi jadi wartawan. Keluarga gue merintih,
mencibir, mengiba dan terus menerus mengkritik profesi gue ini. Tapi gue tetap
bertahan, hingga semester Sembilan, gue berhasil diwisuda dengan masih
berprofesi jurnalis yang masih bertengger di pundak gue.
Terus terang gue menikmati dan fun banget sama profesi gue yang satu ini. Angan-angan gue kadang
tinggi banget. Gue pengen banget jadi jurnalis handal. Punya banyak tulisan
investigasi, punya banyak buku hasil liputan gue dan bla bla bla. Tapi, makin
ke sini gue semakin mikir…
-------------------
Sejak jadi wartawan, apalagi sejak gue dipercaya untuk
jadi editor, gue semakin nnnngggggak punya waktu. Waktu yang gue punya Cuma
cukup buat kerja dan sisanya harus gue manfaatin buat istirahat. Akibatnya gue
kehilangan temen, gue kehilangan waktu yang seharusnya gue sediain buat
keluarga dan.. gue jadi ngerasa semakin kesepian. Gue sadar, bahwa gue ngga
bisa hidup tanpa kecerian temen-temen gue dan kasih sayang tulus dari keluarga
gue. Gue jadi mikir keras untuk keberlangsungan kehidupan jangka panjang gue.
Tersirat kalau gue udah berkeluarga nanti, apa gue bakal
ninggalin anak dan suamin gue untuk pekerjaan? Trus, kalau suatu saat orangtua
gue sakit, apa gue harus merampas hak orangtua gue yang seharusnya gue rawat
Cuma buat kerja? Dan kepada siapa gue harus sharing,
berbagi suka cita kehidupan? Gue nggak bisa kehilangan ini semua.
Gue sadar banget kalau gue suka profesi ini dan jujur,
gue pengen banget jadi penulis yang punya banyak karya-karya keren. Gue masih
pengen jadi jurnalis. Tapi gue juga sadar, gue harus cepat ambil keputusan demi
kehidupan gue di masa depan.
Setelah berbagai pertimbangan dan berpikir keras gue
memutuskan. Gue mau kuliah lagi. Gue mau lanjutin kuliah gue dan menjalani
profesi yang bikin gue tetap bisa nulis, dengan nggak ninggalin semua yang udah
gue miliki. Kali ini gue akan berjuang untuk bisa jadi seorang akademisi.
Barangkai dengan menjadi akademisi, gue bisa bisa jadi peneliti handal dan
meluncurkan banyak karya. Inilah impian baru yang berikutnya ingin gue capai.
Namun lagi-lagi impian gue ini terhalang oleh restu
keluarga besar bahkan orangtua gue. Namun gue tetap bertekad, bahwa inilah hal
terbaik yang harus gue perjuangin saat ini. Ini demi gue, demi kedua orangtua
gue, demi adik gue, demi keluarga besar gue dan demi teman-teman gue. Ini juga
demi semua yang udah jadiin gue manusia seperti sekarang. Gue pengen membalas
semua kebaikan dan jasa-jasa mereka dengan tekad dan kerja keras gue. Gue
yakin, gue pasti bisa. Hingga akhirnya, dengan berbagai cara dan ketekatan gue,
orangtua gue pun restuin gue untuk lanjutin kuliah gue. Sekarang, gue resmi
menjadi mahasiswa Magister Komunikasi di Universitas Mercu Buana Jakarta.
Keputusan gue untuk menjelajahi Jakarta dan menimba ilmu
di Jakarta lagi-lagi menuai pro dan kontra. Maklum, image Jakarta emang sadis di mata masyarakat awam. Meskipun
faktanya emang nyaris demikian. Tapi gue yakin gue bisa. Gue ngerasa, gue udah
punya cukup bekal mental untuk menimba ilmu di Ibukota. Jakarta, why not.
Sekarang, harapan gue nggak muluk-muluk. Doa yang selalu
gue panjatin buat orantua gue, semoga beliau selalu diberi kesehatan dan
kebahagiaan. Doa gue selanjutnya, semoga gue segera lulus kuliah pasca sarjana
gue ini, dan semoga impian gue segera tercapai dengan baik dan maksimal. Ini
perjalanan evolusi cita-cita gue. Cita-cita loe?
Penulis : Novriana Dewi
Jika Berminat, Baca Ini Juga Ya Guys:
Pilih Mana, Desa atau Kota
Mimpi Kecil Sebocah Pulau "Aku Ingin Terbang"
Jika Berminat, Baca Ini Juga Ya Guys:
Pilih Mana, Desa atau Kota
Mimpi Kecil Sebocah Pulau "Aku Ingin Terbang"
Hehehe...mirip ceritanya. Sekarang sih gue kasih cita-cita buat sendiri selama 5 tahun. Achievment yang harus gue raih...
BalasHapus